01

The Ugly Doodles

Video preview
 
Hello, my lovable reading friends. It's Awnie. Thank you for coming to read with me.
Halo, teman-teman pembaca kesayanganku. Aku Awnie. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca bersamaku.
 
If you want to read more stories with me, be sure to subscribe.
Kalau kalian ingin membaca lebih banyak cerita denganku, jangan lupa berlangganan.
 
And for shout outs, book reviews, and other content, follow me on social media.
Dan untuk sapaan spesial, ulasan buku, serta konten lainnya, ikuti aku di media sosial.
 
In this story, we'll meet a little girl who wants to create her own masterpieces,
Dalam cerita ini, kita akan bertemu seorang gadis kecil yang ingin menciptakan karya epiknya sendiri,
 
but all she can seem to draw are ugly doodles.
tapi yang bisa ia gambar hanyalah coretan-coretan yang tampak jelek.
 
Let's see if she can figure it out as we read The Ugly Doodles.
Mari kita lihat apakah dia bisa menemukan jawabannya saat kita membaca The Ugly Doodles.
 
If you have a copy, go get it so you can read along with me.
Kalau kalian punya bukunya, ambil sekarang supaya bisa membaca bersama denganku.
 
The Ugly Doodles by Valeria Wicker
The Ugly Doodles oleh Valeria Wicker
 
One trip to the museum was all it took for Raven to fall head over heels in love with art.
Satu kunjungan ke museum sudah cukup membuat Raven jatuh cinta pada seni.
 
She wanted to turn her bedroom into a gallery of her own masterpieces.
Dia ingin mengubah kamarnya menjadi galeri penuh karya epik ciptaannya sendiri.
 
If only she could make one—just one—masterpiece.
Andai saja dia bisa membuat satu saja karya epik.
 
She sketched and sketched, but her doodles were never quite right.
Dia terus menggambar, tapi hasilnya selalu terasa kurang pas.
 
Sometimes it seemed like the harder she tried, the worse they turned out.
Kadang-kadang, semakin keras dia berusaha, hasilnya justru makin buruk.
 
Dozens of ugly doodles dotted her bedroom floor, almost calling for Raven to fix them.
Puluhan coretan jelek berserakan di lantai kamarnya, seolah-olah meminta Raven untuk memperbaikinya.
 
Mom was not happy.
Ibu tidak senang melihatnya.
 
“Raven, no more drawing until this room is tidy!”
"Raven, jangan menggambar lagi sebelum kamar ini rapi!"
 
So she did what she had to do.
Jadi dia melakukan apa yang perlu dilakukan.
 
That night, Raven was determined to create her first masterpiece.
Malam itu, Raven bertekad untuk menciptakan karya epik pertamanya.
 
But other things got in the way.
Tapi ada saja hal-hal yang mengganggu.
 
“Raven, come downstairs for supper!”
"Raven, turun ke bawah untuk makan malam!"
 
“Raven, it's time to get ready for bed!”
"Raven, waktunya bersiap untuk tidur!"
 
“Raven, you need to brush your teeth!”
"Raven, kamu harus sikat gigi!"
 
And that was when she noticed something disturbing.
Dan saat itulah dia melihat sesuatu yang mengganggu.
 
A half-drawn, smudged-up doodle had found its way to the mirror.
Sebuah coretan setengah jadi dan berantakan muncul di cermin.
 
At bedtime, something crunchy poked her under her blanket.
Saat hendak tidur, sesuatu yang kasar menusuk dari bawah selimutnya.
 
Raven tossed the doodle aside only to find another under her pillow.
Raven menyingkirkan coretan itu, tapi menemukan satu lagi di bawah bantalnya.
 
One more.
Satu lagi.
 
Two more.
Dua lagi.
 
Then three, four, six, nine, twelve.
Lalu tiga, empat, enam, sembilan, dua belas.
 
There were oodles of doodles, all staring at her with crumpled,
Ada segudang coretan, semuanya menatapnya dengan pandangan kusut,
 
half-drawn, smudged-up, creepy-looking gazes.
setengah jadi, buram, dan tampak menyeramkan.
 
They were everywhere—except under her bed where she had put them.
Mereka ada di mana-mana—kecuali di bawah tempat tidur, tempat ia menyimpannya.
 
Raven stuffed the doodles somewhere else and went back to bed.
Raven menyelipkan coretan-coretan itu ke tempat lain dan kembali ke tempat tidur.
 
In the morning, she was ready for some serious drawing time.
Pagi harinya, dia siap untuk menggambar dengan sungguh-sungguh.
 
But there they were again.
Tapi mereka muncul lagi.
 
The doodles had to go, and Raven knew just the place.
Coretan-coretan itu harus disingkirkan, dan Raven tahu ke mana harus membawanya.
 
She put them in the attic, where Mom and Dad put all their ugly stuff.
Dia menaruhnya di loteng, tempat Ayah dan Ibu menyimpan barang-barang jelek mereka.
 
On her way back from the attic, Raven heard a shuffling noise coming from her bedroom.
Dalam perjalanan kembali dari loteng, Raven mendengar suara gesekan dari kamarnya.
 
She opened the door, and there they were—in all their scrawled, scratched-up, sketchy-looking glory.
Dia membuka pintu, dan mereka ada di sana—dengan semua goresan dan tampilan kasar mereka yang mencolok.
 
They were mocking her.
Mereka mengejeknya.
 
Raven was done dealing with their nonsense.
Raven sudah muak menghadapi ulah mereka.
 
She shoved them into a bag and delivered them directly to the recycling center.
Dia memasukkan mereka ke dalam tas dan langsung membawanya ke pusat daur ulang.
 
The doodles were finally gone.
Coretan-coretan itu akhirnya lenyap.
 
She was free.
Dia merasa bebas.
 
When she returned home, she checked every nook and cranny of her room.
Saat kembali ke rumah, dia memeriksa setiap sudut dan celah kamarnya.
 
There were no doodles in sight.
Tidak ada coretan yang terlihat.
 
Phew.
Huft.
 
Raven could finally focus on creating a masterpiece.
Raven akhirnya bisa fokus menciptakan karya agung.
 
But when she opened her sketchbook, she realized she was out of drawing paper.
Tapi saat membuka buku sketsanya, dia sadar kertas gambarnya sudah habis.
 
All right.
Baiklah.
 
Luckily, that night Dad brought her a treat,
Untungnya, malam itu Ayah membawakannya kejutan,
 
a brand new box of drawing pads made from 100% recycled paper.
sebuah kotak buku gambar baru yang terbuat dari 100% kertas daur ulang.
 
Raven was thrilled.
Raven sangat gembira.
 
Until she opened the box... and they were back.
Sampai dia membuka kotaknya... dan mereka kembali.
 
They were hideous, miserable-looking mess-ups.
Mereka tampak jelek, menyedihkan, dan berantakan.
 
But the more Raven looked at them, the more apparent it was—the doodles needed her attention.
Tapi semakin lama Raven memandangi mereka, semakin jelas bahwa coretan itu butuh perhatiannya.
 
Maybe some love.
Mungkin sedikit kasih sayang.
 
Definitely a body part or two.
Pasti perlu satu atau dua bagian tubuh.
 
“You poor things.”
"Kalian kasihan sekali."
 
Raven grabbed her supplies and gathered up the doodles.
Raven mengambil peralatannya dan mengumpulkan semua coretan itu.
 
She erased and corrected, retraced and connected, filled and perfected.
Dia menghapus dan memperbaiki, menelusuri ulang dan menyambungkan, mengisi dan menyempurnakan.
 
“Well, not bad.”
"Yah, lumayan juga."
 
And eventually...
Dan akhirnya...
 
The doodles were finished.
Coretan-coretan itu selesai.
 
Raven had her very own gallery of masterpieces.
Raven kini memiliki galeri karya agung miliknya sendiri.
 
“Now you are picture perfect.”
"Sekarang kalian benar-benar sempurna."
 
Maybe every masterpiece starts with an ugly doodle.
Mungkin setiap karya agung berawal dari sebuah coretan jelek.
 
If you want to create your own masterpiece, just keep on trying, and eventually you'll get there.
Kalau kamu ingin menciptakan karya epikmu sendiri, teruslah mencoba, dan pada akhirnya kamu akan berhasil.
 
I hope you enjoyed our story today.
Semoga kamu menikmati cerita kita hari ini.
 
See you next time.
Sampai jumpa di kesempatan berikutnya.
 

Vocabulary List

masterpiece (noun): karya epik/agung
doodle (noun): coretan gambar sembarangan
figure out (verb phrase): memahami, menemukan solusi
head over heels (adverb phrase): jatuh cinta sepenuhnya
tidy (adjective): rapi, teratur
determined (adjective): bertekad, penuh niat
notice (verb): menyadari, melihat
smudged-up (adjective): buram, belepotan
crunchy (adjective): renyah, kasar (tekstur)
poke (verb): menusuk, menyodok
toss aside (verb phrase): menyingkirkan, membuang ke samping
crumpled (adjective): kusut, lecek
stuff (verb): menyelipkan, memasukkan secara cepat
attic (noun): loteng
shuffling noise (noun phrase): suara gesekan pelan
mock (verb): mengejek, mencemooh
shove (verb): mendorong dengan kasar
every nook and cranny (noun phrase): setiap sudut dan celah
in sight (prepositional phrase): terlihat
hideous (adjective): sangat jelek, mengerikan
miserable (adjective): menyedihkan, sengsara
mess-up (noun): kekacauan, hasil yang gagal
apparent (adjective): jelas, tampak nyata